Total Tayangan Halaman

kelas PAI e

kelas PAI e
dikelas yang indah

Pengikut

Jumat, 02 Mei 2008

L.Tohndike

psikologi pendidikan L.Torndike

Tuesday, May 15, 2007
BELAJAR DAN PRILAKU
(Gambaran Singkat Teori Belajar Behavioristik)
Oleh : Agus Wibowo*
A. Pendahuluan
Aliran psikologi behaviorisme diperkenalkan oleh John B.Watson dan Adward L. Thorndike di Amerika Serikat pada awal abad ke 20 (Anderson J. R., 1994 : 3). Pendekatan psikologi yang kemudian merajai di berbagai penjuru dunia ini berdasar atas assosianisme fisiologis (Nana Sudjana, 1991 : 18). Psikologi Watson selanjutnya dikenal dengan behaviorisme, sedangkan psikologi Thorndike dikenal dengan koneksionisme. Meskipun demikian, keduanya dalam arti yang luas adalah behavioristik. Menurut Watson, prilaku yang seharusnya menjadi subjek psikologi bukan kesadaran akal (mind). Psikologi harus cukup luas untuk menampung prilaku organisme. Metode introspeksi menurutnya terlalu subjektif bertitik-tolak pada konsep refleks dari ilmu syaraf. Oleh karena itu, studi psikologi hendaknya mempelajari respon organisme terhadap stimuli. Bermula dari tesis tersebut muncullah formula “S-R” (stimulus-respone). Watson berpendapat bahwa identifikasi unit S-R menyerupai refleks yang membentuk prilaku sederhana dan kompleks.

Pengaruh Watson terhadap bidang pendidikan juga cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam rangka pengembangan tingkah laku. Ia percaya dengan kondisioning (pengkondisian) tertentu dalam proses pendidikan, dapat membuat peserta didik mempunyai sifat-sifat tertentu pula. Sementara pengaruh lainnya dalam bidang psikoterapi yakni penggunaan teknik kondisioning. Sekalipun psikologi Watson dan Thorndike saat ini tidak lagi dalam bentuk aslinya, namun banyak psikolog masa kini berorientasi pada pendapat mereka. Para penganut kedua tokoh tersebut menamakan diri kaum neobehaviorisme; di antaranya : Albert Bandura, Gagne, Glasser, Neal Miller, B. F. Skinner, J.M. Stephens. Dalam arti luas golongan behaviorisme ini mencakup semua teori S-R Bond atau konektionisme dan neobehaviorisme (Sudjana, 1991 : 22). Makalah ini pada prinsipnya merupakan pembahasan singkat dari teori belajar behavioristik dan beberapa tokoh yang mengikuti aliran ini beserta aplikasinya dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran.

B. Teori Belajar dalam Psikologi Behaviorisme beserta Tokoh-tokohnya

Teori belajar behavioristik juga disebut sebagai teori belajar stimulus-response atau conditioning yang menekankan kepada analisis prilaku yang bersifat objektif. Asumsi yang digunakan mengenai proses belajar adalah seseorang dapat mengerti proses belajar yang kompleks setelah ia mengerti proses belajar yang sederhana. Proses-proses yang sederhana diharapkan pula dapat menjelaskan proses-proses yang lebih kompleks (Sudjana : 23)

Menurut teori behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku akibat dari adanya interaksi antara stimulus (S) dan respon (R). Dengan kata lain, belajar merupakan perubahan yang dialami oleh peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya (C. Asri Budiningsih, 2003 : 20-24). Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus dalam pembelajaran adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa; misalnya cara belajar, mengerjakan sesuatu, materi dan lain-lainnya sedangkan respon adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.

Ada dua macam teori belajar conditioning yaitu instrumental conditioning yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike dan classical conditioning yang dikembangkan oleh Ivan P. Pavlov. Meskipun Asri Budiningsih tidak memasukkan Pavlov dalam kelompok tokoh behavioristik, namun penulis perlu memasukan pemikirannya dalam pembahasan ini karena pemikiran Pavlov ini banyak diikuti oleh penemu teori belajar behavioristik berikutnya.


1. Thorndike

Edward L. Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan Universitas Harvad merupakan dua perguruan tinggi yang banyak mewarnai ide-ide psikologi Thorndike. Dalam setiap eksperimennya, Thorndike mempergunakan hewan-hewan —terutama kucing— untuk mengetahui fenomena belajar. Seekor kucing lapar dalam sangkar kotak jeruji dengan peralatan lengkap eksperimen yang disebut instrumental conditioning (yang berarti tingkah laku yang dipelajari) berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

a. Teori Koneksionisme Thorndike

Hasil Eksperimen Thorndike dikenal sebagai teori belajar koneksionisme (Muhibbin Syah, 2000 : 105). Menurut Thorndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus (yaitu yang berupa rangsangan seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera), dengan respon (yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan). Oleh karena itu, teori ini juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learning”. Menurut teori ini, perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berujud kongkrit yaitu dapat diamati. Thorndike juga merumuskan beberapa hukum dalam belajar yaitu : pertama, motivasi (misalnya rasa lapar, rasa ingin dihargai, ingin pandai) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, low of effect; artinya jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan maka hubungan antara stimulus dan respons semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (menganggu) efek yang dicapai respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut.
Selain itu, Thorndike juga membuat hukum belajar lainnya yaitu law of readiness (hukum kesiap-siagaan) dan law of exercise (hukum latihan). Low of readiness pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme berasal dari pendayagunaan satuan perantara (conduction units). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Hukum ini menurut Reber (1988) hanya bersifat spekulatif dan historis. Law of exercise merupakan generalisasi atas law of use dan law of disue. Maksudnya jika perilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan maka eksistensi prilaku tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya, jika prilaku tadi tidak sering dilatih atau digunakan maka akan terlupakan atau sekurang-kurangnya menurun (law of disuse).

b. Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran
Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan “hadiah” selayaknya diberikan kepada peserta didik. Ada beberap aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran :
• Perhatikan situasi peserta didik
• Perhatikan respons yang diharapkan dari situasi tersebut
• Ciptakan hubungan respons tersebut dengan sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya
• Situasi-situasi yang sama jangan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut.
• Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik
• Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis.
• Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan di sekolah menurut Thorndike yaitu :
1. Sesuaikan dengan teorinya, dan sekolah harus mempunyai tujuan yang jelas.
2. Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kemampuan siswa, bahan pengajaran harus dibagi menurut unit-unit, sehingga guru bisa memanipulasi bermacam-macam situasi misalnya situasi menyenangkan, tidak menyenangkan dan sebagainya
3. Proses belajar harus bertahap, dimulai dari yang sederhana hingga yang kompleks
4. Motivasi tidak perlu ditimbulkan kecuali dalam hubungan menentukan “apa yang menyenangkan bagi siswa“, oleh karena tingkah laku ditentukan oleh “eksternal reward” dan bukan oleh “intrinsic motivation”.
5. Tekanan pendidikan adalah perhatian pada pelaksanaan respons yang benar terhadap stimulus
6. Respons yang salah harus segera diperbaiki agar tidak diulang kembali, ujian harus dilaksanakan secara teratur dan merupakan umpan balik bagi guru apakah proses belajar telah sesuai dengan tujuan.
7. Memberi masalah yang sulit kepada siswa tidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.
8. Bila siswa belajar secara baik, segera diberi hadiah (bisa berupa pujian, nilai bagus atau hadiah berupa barang), tetapi bila siswa berbuat salah harus segera ditegur atau diperbaiki agar tidak diulangi kembali.
9. Pendidikan yang baik adalah pelajaran yang didapat di sekolah oleh peserta didik dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau “pelajaran berbasis kenyataan”
2. Ivan P. Pavlov
Ivan P. Pavlov lahir pada tahun 1849 di kota Rayasan Rusia. Ayahnya merupakan seorang pendeta di suatu daerah miskin. Pavlov mengadakan riset mengenai refleks-refleks sederhana pada binatang, seperti pengeluaran air liur pada anjing. Dalam eksperime yang dilakukan sebanyak 12 trial, pavlov menyimpulkan bahwa organisme yang telah dikondidikan pada suatu Conditioned Stimulus (CS) tertentu akan memberikan reaksi berupa Conditioned Response (CR) yang merupakan hasil belajar pada rangsang sejenis (Irwanto, 2004 : 112). Dari penelitian dan karyanya ini Pavlov memperoleh Nobel pada tahun 1904 (Sudjana : 66)

psikologi perkembangan remaja

PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA
[ Selasa, 27 Juli 2004 | 3545 pembaca ]

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Bila seseorang gagal melalui tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi masalah pada diri seseorang tersebut. Untuk mengenal kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain:

Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif
Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Perilaku Ani yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin Ani akan selalu menolak bila diajak ke pesta oleh temannya sehingga lama-kelamaan Ani tidak memiliki teman, dan sebagainya.

Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.

Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin
Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut.

Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri
Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).

Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma
Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya.

Selain tugas-tugas perkembangan, kita juga harus mengenal ciri-ciri khusus pada remaja, antara lain:
- Pertumbuhan Fisik yang sangat Cepat
- Emosinya tidak stabil
- Perkembangan Seksual sangat menonjol
- Cara berfikirnya bersifat kausalitas (hukum sebab akibat)
- Terikat erat dengan kelompoknya

Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batas-batas umur remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti tentang batasan usia remaja karena masa remaja ini adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam 2 periode yaitu:

1. Periode Masa Puber usia 12-18 tahun
a. Masa Pra Pubertas: peralihan dari akhir masa kanak-kanak ke masa awal pubertas. Cirinya:
- Anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi
- Anak mulai bersikap kritis

b. Masa Pubertas usia 14-16 tahun: masa remaja awal. Cirinya:
- Mulai cemas dan bingung tentang perubahan fisiknya
- Memperhatikan penampilan
- Sikapnya tidak menentu/plin-plan
- Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

c. Masa Akhir Pubertas usia 17-18 tahun: peralihan dari masa pubertas ke masa adolesen. Cirinya:
- Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologisnya belum tercapai sepenuhnya
- Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja pria

2. Periode Remaja Adolesen usia 19-21 tahun
Merupakan masa akhir remaja. Beberapa sifat penting pada masa ini adalah:
- Perhatiannya tertutup pada hal-hal realistis
- Mulai menyadari akan realitas
- Sikapnya mulai jelas tentang hidup
- Mulai nampak bakat dan minatnya

Dengan mengetahui tugas perkembangan dan ciri-ciri usia remaja diharapkan para orangtua, pendidik dan remaja itu sendiri memahami hal-hal yang harus dilalui pada masa remaja ini sehingga bila remaja diarahkan dan dapat melalui masa remaja ini dengan baik maka pada masa selanjutnya remaja akan tumbuh sehat kepribadian dan jiwanya.[sumber :www.iqeq.web.id]

badiah0 komentar

Berlangganan: Posting (Atom)



Tidak ada komentar: